Teknopreneur, Apaan tuh ?
Saat membaca kata teknopreneur, kemungkinan besar pikiran kita akan tertuju
pada dua hal, teknologi dan entrepreneurship atau kewirausahaan.
Ya, teknopreneur memang didefinisikan sebagai entrepreneur yang mengoptimalkan segenap potensi teknologi yang ada sebagai basis pengembangan bisnis yang dijalankannya. namun, permasalahan mendasarnya, teknopreneur sendiri merupakan istilah yang masih asing di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya. – kecuali bagi mereka yang terus mengikuti segenap perkembangan bisnis dunia-.
selain itu, bagi mereka yang sudah mengenalnya pun masih ada yang salah kaprah memahaminya sebagai IT entrepreneur. well, it depend on which side you look at it.
Penulis sendiri pertama kali mendengar dan mengetahui teknopreneur ini ketika masih kuliah di semester 7 di Fisipol UGM. Berbekal modal sebagai salah satu pemenang lomba inovasi mahasiswa yang diselenggarakan UGM sejak tahun 2002, tim penulis berkesempatan untuk diundang menghadiri berbagai seminar dan workshop entrepreneur secara gratis yang diselenggarakan UGM, dengan mendatangkan entrepeneur dari dalam dan luar negeri sebagai narasumber.
Karena, ternyata, disamping punya tujuan menjadi research university, UGM juga mulai mengejar peluang sebagai entrepreneur university. poin kedua inilah yang ternyata sayangnya tidak banyak diketahui publik di lingjkungan UGM sendiri.
Yah, itu sisi lain yang tidak perlu diributkan di sini. Yang pasti, pengalaman paling berkesan bagi penulis adalah ketika yang menjadi narasumbernya adalah seorang Profesor dari Delft University of Technology Belanda yang juga menjadi seorang entrepreneur. Karena dari beliaulah penulis mendapat pemahaman awal tentang teknopreneur, dan bagaimana aplikasinya di negara Belanda sana (tengah menuju 3rd generation techno-starter loh).
Mungkin ada yang heran dan bertanya-tanya, memang apa yang dibuat oleh anak fisipol yang konon bicara dan bacaannya kebanyakan soal politik ini dalam kaitannya dengan bidang teknologi, lebih-lebih teknopreneur. Aah…paling salah seorang anggota timnya ada yang anak teknik atau IT sehingga bisa buat produk berbau teknologi.
Well, not quite true…but, tim penulis semuanya benar-benar gak ada yang berasal dari fakultas teknik, apalagi cabutan dari jurusan IT. alias 90 % murni anak fisipol+ 10 % anak ekonomi dan pendidikan lain universitas untuk cabutannya.
Yang kami buat cuma sebuah jurnal digital berformat CD-ROM berbalut offline website dengan content bertemakan teknologi, dakwah dan pendidikan. Loh?? politiknya kemana? koq cuma dalam bentuk CD-ROM, Kenapa bukan internet? jawaban penulis sederhana, justru politik itu yang menjadi substansi dari wujud jurnal digital itu sendiri. Karena, kami berangkat dari pemahaman politik bahwa “whoever control over technology nowadays, they’ll control todays world, and that’s the politics”.
ada begitu banyak alasan yang melatari pandangan politik ini, sebutlah salah satunya masalah yang melingkupi proses alih teknologi yang lebih merupakan sebentuk penghisapan bangsa asing atas sumberdaya ekonomi tanah air.
adapun dimensi politik dari pilihan tema yang kami angkat, yaitu teknologi, dakwah dan pendidikan, karena kami ingin menyampaikan pada publik bahwa perkembangan teknologi, software dan hardwarenya bisa mendayagunakan segenap potensi anak bangsa untuk jadi lebih maju tanpa terlalu banyak tergantung dari luar, dan dakwah, untuk menunjukkan bahwa inilah cara kami menyampaikan pesan politik kami terhadap kecenderungan hari esok, bahwa siapa yang tidak bisa menguasai teknologi minimal untuk dirinya sendiri, ia akan dimanfaatkan oleh orang yang memiliki dan mengendalikan teknologi tersebut, setidaknya dalam bentuk harga yang mahal.
Serta pendidikan, karena kami mendapati bahwa masyarakat dunia saat ini tengah bertransisi dari masyarakat industri ke masyarakat pengetahuan. oleh karena itu, pendidikan menjadi bahan bakar utama untuk menjadikan setiap anak bangsa lebih berpengetahuan, pengetahuan untuk mengoptimalkan dan mendayagunakan segenap sumberdaya yang ada. Karenanya, jurnal digital ini di rancang sebagai basis referensi dalam kerangka pendidikan untuk mengoptimalkan segenap perkembangan teknologi saat ini sebagaimana telah disampaikan sebelumnya.
Adapun mengapa bentuknya CD-ROM dan bukan internet berwujud online website misalnya, karena CD-ROM kami rasa saat ini lebih cocok menjadi teknologi tepat guna yang rendah biayanya, berkapasitas besar (650 Mb itu kira-kira bisa sama dengan seluruh isi perpustakaan sebuah universitas, dan bisa lebih) dan dapat menjembatani kesenjangan digital antar masyarakat di berbagai pulau di Indonesia, lebih-lebih daerah pedalaman.
Yah, Alhamdulillah jika saat ini sudah ada perusahaan telekomunikasi yang melakukan gerakan internet goes to school untuk sekolah-sekolah di berbagai daerah di tanah air. Tapi hal ini tetap tidak bisa mengatasi kesenjangan digital yang terjadi dalam waktu singkat. ibaratnya, anak bangsa ini langsung di ajarin buat pesawat dan bukannya mulai dari membuat sepeda, motor ataupun mobil. Dalam banyak kasus kesenjangan digital di tanah air ini, jangankan bisa menjelajah di internet. bisa menggunakan dan mengoperasikan komputer saja sudah syukur Alhamdulillah.
yah, memang tidak jarang kami mendapat kritik dari teman-teman kami, baik yang dikenal maupun tidak, yang berlatar belakang teknik dan web design terkait performa tampilan isinya maupun dari teman-teman yang berlatar belakang disiplin ilmu lainnya.
yah, buat kami yang memang belum dan tidak begitu paham dunia teknologi, hal demikian justru menjadi ruang-ruang belajar yang lebih luas bagi kami untuk mengaitkan hubungan politik dan teknologi, sampai saat ini.
trus, apa hubungannya cerita politik di atas dengan teknopreneur ? bukannya teknopreneur itu bicara soal bisnis dan ekonomi terkait teknologi? well, again, it depend on which side you look at it.
Bagi penulis pribadi, apa yang sudah kami lakukan itu sendiri merupakan ciri seorang teknopreneur. Bayangkan, kami menggunakan teknologi untuk membuat produk teknologi dengan content dan tujuan sebagaimana telah disampaikan sebelumnya.
lalu, karena ini juga dakwah, berarti ada upaya penyebarluasan, dan pendidikan, dalam artian luas sebagai dasar pencapaian tujuan politiknya. dan karenanya, sebagian CD kami jual dalam sejumlah event dan sebagian lain kami beri gratis untuk menjalin kerjasama dan dukungan (ilmu, modal materi dan kebijakan) dari berbagai pihak di dalam dan luar negeri. bukankah hal ini sudah menunjukkan aplikasi bisnis dasar dari teknopreneur dunia? bukankah sekarang banyak bisnis yang menawarkan free trial sebelum melangkah ke aksi beli atau menjalin kerjasama. well, that’s how business going.
You cannot sell technology until your costumer feel its benefit and help much in doing their activity. bukankah untuk itu teknologi hadir?
sampai tahap tertentu, penulis jadi terpikir sebuah konsep ekonomi-politik teknologi untuk memahami tindakan yang kami lakukan. tapi, biarlah itu jadi bahasan topik yang lain lagi.
Dan, kembali ke bahasan awal kita tentang teknopreneur. jadi, siapa pun sebetulnya bisa menjadi teknopreneur. tanpa harus terjebak apakah teknopreneur itu IT entrepreneur ataukah lainnya.
Dengan kata lain, yang ingin penulis sampaikan adalah bahwa apapun teknologi yang kamu kuasai, kamu bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang bernilai untuk diapresiasi orang lain.
dan juga, tergantung pada niatan awal, apakah sebagai teknopreneur, apa yang dijual tersebut mendorong kemajuan dan kemudahan bagi manusia ataukah menjadi sesuatu yang bersifat ‘waste resources just for hedonism pleasure’. well, it’s your choice.
Sumber: http://fathoni.wordpress.com/2007/02/15/teknopreneur-apaan-tuh/
Ditulis dalam Ekonomi
Ya, teknopreneur memang didefinisikan sebagai entrepreneur yang mengoptimalkan segenap potensi teknologi yang ada sebagai basis pengembangan bisnis yang dijalankannya. namun, permasalahan mendasarnya, teknopreneur sendiri merupakan istilah yang masih asing di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya. – kecuali bagi mereka yang terus mengikuti segenap perkembangan bisnis dunia-.
selain itu, bagi mereka yang sudah mengenalnya pun masih ada yang salah kaprah memahaminya sebagai IT entrepreneur. well, it depend on which side you look at it.
Penulis sendiri pertama kali mendengar dan mengetahui teknopreneur ini ketika masih kuliah di semester 7 di Fisipol UGM. Berbekal modal sebagai salah satu pemenang lomba inovasi mahasiswa yang diselenggarakan UGM sejak tahun 2002, tim penulis berkesempatan untuk diundang menghadiri berbagai seminar dan workshop entrepreneur secara gratis yang diselenggarakan UGM, dengan mendatangkan entrepeneur dari dalam dan luar negeri sebagai narasumber.
Karena, ternyata, disamping punya tujuan menjadi research university, UGM juga mulai mengejar peluang sebagai entrepreneur university. poin kedua inilah yang ternyata sayangnya tidak banyak diketahui publik di lingjkungan UGM sendiri.
Yah, itu sisi lain yang tidak perlu diributkan di sini. Yang pasti, pengalaman paling berkesan bagi penulis adalah ketika yang menjadi narasumbernya adalah seorang Profesor dari Delft University of Technology Belanda yang juga menjadi seorang entrepreneur. Karena dari beliaulah penulis mendapat pemahaman awal tentang teknopreneur, dan bagaimana aplikasinya di negara Belanda sana (tengah menuju 3rd generation techno-starter loh).
Mungkin ada yang heran dan bertanya-tanya, memang apa yang dibuat oleh anak fisipol yang konon bicara dan bacaannya kebanyakan soal politik ini dalam kaitannya dengan bidang teknologi, lebih-lebih teknopreneur. Aah…paling salah seorang anggota timnya ada yang anak teknik atau IT sehingga bisa buat produk berbau teknologi.
Well, not quite true…but, tim penulis semuanya benar-benar gak ada yang berasal dari fakultas teknik, apalagi cabutan dari jurusan IT. alias 90 % murni anak fisipol+ 10 % anak ekonomi dan pendidikan lain universitas untuk cabutannya.
Yang kami buat cuma sebuah jurnal digital berformat CD-ROM berbalut offline website dengan content bertemakan teknologi, dakwah dan pendidikan. Loh?? politiknya kemana? koq cuma dalam bentuk CD-ROM, Kenapa bukan internet? jawaban penulis sederhana, justru politik itu yang menjadi substansi dari wujud jurnal digital itu sendiri. Karena, kami berangkat dari pemahaman politik bahwa “whoever control over technology nowadays, they’ll control todays world, and that’s the politics”.
ada begitu banyak alasan yang melatari pandangan politik ini, sebutlah salah satunya masalah yang melingkupi proses alih teknologi yang lebih merupakan sebentuk penghisapan bangsa asing atas sumberdaya ekonomi tanah air.
adapun dimensi politik dari pilihan tema yang kami angkat, yaitu teknologi, dakwah dan pendidikan, karena kami ingin menyampaikan pada publik bahwa perkembangan teknologi, software dan hardwarenya bisa mendayagunakan segenap potensi anak bangsa untuk jadi lebih maju tanpa terlalu banyak tergantung dari luar, dan dakwah, untuk menunjukkan bahwa inilah cara kami menyampaikan pesan politik kami terhadap kecenderungan hari esok, bahwa siapa yang tidak bisa menguasai teknologi minimal untuk dirinya sendiri, ia akan dimanfaatkan oleh orang yang memiliki dan mengendalikan teknologi tersebut, setidaknya dalam bentuk harga yang mahal.
Serta pendidikan, karena kami mendapati bahwa masyarakat dunia saat ini tengah bertransisi dari masyarakat industri ke masyarakat pengetahuan. oleh karena itu, pendidikan menjadi bahan bakar utama untuk menjadikan setiap anak bangsa lebih berpengetahuan, pengetahuan untuk mengoptimalkan dan mendayagunakan segenap sumberdaya yang ada. Karenanya, jurnal digital ini di rancang sebagai basis referensi dalam kerangka pendidikan untuk mengoptimalkan segenap perkembangan teknologi saat ini sebagaimana telah disampaikan sebelumnya.
Adapun mengapa bentuknya CD-ROM dan bukan internet berwujud online website misalnya, karena CD-ROM kami rasa saat ini lebih cocok menjadi teknologi tepat guna yang rendah biayanya, berkapasitas besar (650 Mb itu kira-kira bisa sama dengan seluruh isi perpustakaan sebuah universitas, dan bisa lebih) dan dapat menjembatani kesenjangan digital antar masyarakat di berbagai pulau di Indonesia, lebih-lebih daerah pedalaman.
Yah, Alhamdulillah jika saat ini sudah ada perusahaan telekomunikasi yang melakukan gerakan internet goes to school untuk sekolah-sekolah di berbagai daerah di tanah air. Tapi hal ini tetap tidak bisa mengatasi kesenjangan digital yang terjadi dalam waktu singkat. ibaratnya, anak bangsa ini langsung di ajarin buat pesawat dan bukannya mulai dari membuat sepeda, motor ataupun mobil. Dalam banyak kasus kesenjangan digital di tanah air ini, jangankan bisa menjelajah di internet. bisa menggunakan dan mengoperasikan komputer saja sudah syukur Alhamdulillah.
yah, memang tidak jarang kami mendapat kritik dari teman-teman kami, baik yang dikenal maupun tidak, yang berlatar belakang teknik dan web design terkait performa tampilan isinya maupun dari teman-teman yang berlatar belakang disiplin ilmu lainnya.
yah, buat kami yang memang belum dan tidak begitu paham dunia teknologi, hal demikian justru menjadi ruang-ruang belajar yang lebih luas bagi kami untuk mengaitkan hubungan politik dan teknologi, sampai saat ini.
trus, apa hubungannya cerita politik di atas dengan teknopreneur ? bukannya teknopreneur itu bicara soal bisnis dan ekonomi terkait teknologi? well, again, it depend on which side you look at it.
Bagi penulis pribadi, apa yang sudah kami lakukan itu sendiri merupakan ciri seorang teknopreneur. Bayangkan, kami menggunakan teknologi untuk membuat produk teknologi dengan content dan tujuan sebagaimana telah disampaikan sebelumnya.
lalu, karena ini juga dakwah, berarti ada upaya penyebarluasan, dan pendidikan, dalam artian luas sebagai dasar pencapaian tujuan politiknya. dan karenanya, sebagian CD kami jual dalam sejumlah event dan sebagian lain kami beri gratis untuk menjalin kerjasama dan dukungan (ilmu, modal materi dan kebijakan) dari berbagai pihak di dalam dan luar negeri. bukankah hal ini sudah menunjukkan aplikasi bisnis dasar dari teknopreneur dunia? bukankah sekarang banyak bisnis yang menawarkan free trial sebelum melangkah ke aksi beli atau menjalin kerjasama. well, that’s how business going.
You cannot sell technology until your costumer feel its benefit and help much in doing their activity. bukankah untuk itu teknologi hadir?
sampai tahap tertentu, penulis jadi terpikir sebuah konsep ekonomi-politik teknologi untuk memahami tindakan yang kami lakukan. tapi, biarlah itu jadi bahasan topik yang lain lagi.
Dan, kembali ke bahasan awal kita tentang teknopreneur. jadi, siapa pun sebetulnya bisa menjadi teknopreneur. tanpa harus terjebak apakah teknopreneur itu IT entrepreneur ataukah lainnya.
Dengan kata lain, yang ingin penulis sampaikan adalah bahwa apapun teknologi yang kamu kuasai, kamu bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang bernilai untuk diapresiasi orang lain.
dan juga, tergantung pada niatan awal, apakah sebagai teknopreneur, apa yang dijual tersebut mendorong kemajuan dan kemudahan bagi manusia ataukah menjadi sesuatu yang bersifat ‘waste resources just for hedonism pleasure’. well, it’s your choice.
Sumber: http://fathoni.wordpress.com/2007/02/15/teknopreneur-apaan-tuh/
Ditulis dalam Ekonomi